SENYUMAN UNTUK DANI
Panas
siang menyengat. Aktivitas seperti biasa tampak dilakukan para warga di sebuah
perumahan kumuh di pinggiran kota Jakarta. Perumahan yang sebagian besar dinding
rumahnya hanyalah beralaskan kardus dan papan tipis. Tanah yang becek berlumpur
dan beberapa genangan air di sudut gang tak menjadi penghalang mereka untuk tetap
bersemangat melangkahkan kaki demi sesuap nasi.
Dani dan
adiknya Mita baru pulang sekolah. Mereka memasuki salah satu gang di
perumahan itu. Ya, di situlah rumah kecil mereka berdiri. Sebuah rumah dengan penuh lubang di dindingnya. Di situlah mereka berdua merawat ibunya yang sudah lama sakit. Tubuhnya terus saja menggigil diperparah lagi dengan lantai rumah yang tidak lain adalah tanah yang lembab.
perumahan itu. Ya, di situlah rumah kecil mereka berdiri. Sebuah rumah dengan penuh lubang di dindingnya. Di situlah mereka berdua merawat ibunya yang sudah lama sakit. Tubuhnya terus saja menggigil diperparah lagi dengan lantai rumah yang tidak lain adalah tanah yang lembab.
Ayah
mereka telah lama pergi entah kemana sehingga hidup miskin serba kekurangan itu
telah lama mengeringkan luka di hati mereka. Sebagai anak, Dani dan Mita tahu
bahwa Rasulullah mengatakan Surga ada di telapak kaki ibu. Jadi, apa pun itu
asal kan halal akan mereka lakukan demi sebuah pengabdian mereka kepada ibu.
Hanyaa itulah yang mereka bisa lakukan.
Setelah
mengganti pakaian puith birunya, Dani langsung mengambil sebuah gitar kecil
yang bergantung di dinding kamar. Gitar yang selalu menemani dia menyanyikan beberapa
lagu untuk orang-orang yang bersedia mendengarkan suara sumbangnya. Dulu suara
Dani masih merdu, debu jalanan dan asap hitam kendaraanlah yang membuat
suaranya tak seperti dulu lagi.
“ Mita,
kakak berangkat dulu ya. Kau jagalah ibu dulu “,kata Dani kepada Mita.
“ Makan
lah dulu kak sebelum berangkat. Biar kakak ada tenaga “, kata Mita.
“ Iya nak.
Masih ada sedikit nasi di meja. Ibu tidak mau kamu kenapa-kenapa “,kata Ibu
dengan suara lirih, tubuhnya terbaring lemah.
“ Tidak
usah Bu. Nasi itu untuk ibu dan Mita saja. Nanti Dani bisa beli di jalan. Insya
Allah Dani kuat “, jawab Dani dengan nada pelan. Meski ada sedikit kebohongan
yang disimpan di hatinya.
“ Kalau
begitu minumlah dulu seteguk air. Setidaknya itu bisa menyegarkan tenggorokan
kakak “,kata Mita lagi dengan sedikit memelas.
Dengan
perut kosong Dani berusaha sebisa mungkin untuk tetap tampak tegar di hadapan
ibu dan adiknya. Perlahan tapi pasti langkahnya mulai menjauh meninggalkan
rumah. Sebenarnya ibunya pun merasa tak sampai hati kalau harus anaknya yang
belum cukup umur itu sudah banting tulang. Mita juga sudah sering kali merengek
ingin ikut membantu Dani bekerja. Namun, Dani melarangnya karena ia tak tega.
Lagipula, harus ada yang merawat ibu.
Sang
mentari memuntahkan sengatan panasnya tanpa ampun di tengah kota Megapolitan
itu. Kemacetan yang terjadi sepanjang jalan menjadi peluang emas tersendiri
bagi Dani dan beberapa teman seperjuangannya. Mereka pun beraksi. Mulai dari
menjajakan minuman segar hingga melantunkan lagu-lagu ditemani kerasya petikan
gitar dari jemari mereka. Tak sedikit yang merasa terganggu dengan kehadiran para
anak jalanan itu. Namun, tak sedikit pula yang mengulurkan rupiah karena masih
ada rasa belas kasih dan takjub atas jerih payah mereka ataupun sekedar merasa
terhibur di tengah kebisingan kota yang ada.
Matahari
semakin condong ke barat. Sepuluh ribu rupiah telah Dani kumpulkan. Namun,
jumlah itu jika ia langsung belikan untuk makan siangnya pastilah akan habis. Sedangkan
jika dia tidak segera mengisi perutnya dia tak akan mampu lagi bersuara. Dani
pun memutuskan untuk membeli sepotong roti saja.
Setelah
melahap habis rotinya Dani melanjutkan langkah kembali. Dia berbaur lagi dengan
rekan lainnya yang juga baru selesai beristirahat. Satu per satu mobil dan
sepeda motor yang terhenti oleh lampu merah mereka nyanyikan lagu. Tentunya
lagu yang sedang trend saat ini. “
Suara hati ini memanggil namamu karena separuh aku . . .Kamu . . .”.
Tak jarang
ketika ada sebuah bus yang melintas pelan dengan sigap mereka melompat masuk ke
dalam bus itu. Setelah turun dari bus Dani lantas berpisah dengan
teman-temannya. Dia masuk ke beberapa komplek perumahan. Dia beranggapan akan
mendapat uang lebih di sana. Dan ternyata benar setelah berjalan dari ujung ke
ujung, empat puluh ribu rupiah dapat melebarkan senyumnya.
Setelah
merasa cukup Dani pun segera keluar dari komplek perumahan itu. Rasa lapar di
perutnya semakin menjadi-jadi. Dia merasakan pusing yang begitu hebat, matanya
berkunang-kunang. Dengan langkah gontai tak terarah tanpa disadari dia masuk ke
dalam sebuah gang sempit yang sepi. Sepasang mata telah mengintainya sejak
tadi. Dan dengan cepat memaksa dan merampas uang yang ada di tangan Dani.
“ Mana
uang kamu !! Cepat sini! ”,kata seseorang yang tak dikenal itu berusaha merebut
uang Dani.
“ Ampun om...
Jangan diambil! Uang ini untuk beli obat ibu saya “,Dani menangis sejadinya
sambil sebisa mungkin mempertahankan uangnya. Tapi apa daya tenaganya tiada.
“ Ah!
Berisik! Masih kecil tau apa kamu ?!”,orang itu semakin membentak Dani dan
akhirnya semua uang berhasil ia rampas. Tentu saja Dani tidak pasrah begitu
saja.
“ Jangan
om. Kembalikan! Itu uang saya … Adik saya di rumah belum makan …”,dengan
menarik-narik bahu orang itu Dani terus memohon agar uangnya kembali. Tetapi
yang dia dapat adalah sebuah dorongan kuat sehingga tubuh Dani terhempas dan
tak sadarkan diri diantara tumpukan sampah. Preman jalan itu pun langsung
melarikan diri.
Lama Dani
terbaring tak sadarkan diri. Akhirnya dia pun terbangun. Tak ada lagi keinginan
apa-apa di pikirannya kecuali pulang menemui ibu dan adiknya. Hari sudah
semakin sore. Langkahnya terasa begitu ringan mungkin karena ada rasa senang di
hatinya akan bertemu dengan keluarga yang dicintai.
Dalam
perjalanannya Dani melewati sebuah kerusuhan hebat yang terjadi di jantung kota.
Ternyata itu adalah para mahasiswa yang dengan brutalnya merusak segala apa
yang ada di sekitar mereka. Polisi siaga berjaga. Sebagian ada yang berlarian
tertangkap dan meronta-ronta.
Dani
berpikir kenapa masih saja ada yang memilih kekerasan sebagai jalan
penyelesaian masalah. Padahal masih ada orang-orang susah seperti dia yang
masih dapat memberikan cinta dan kasih sayang meski didera dengan cobaan dan
tantangan berat sekalipun.
Dani
meninggalkan kerusuhan itu. Secara kilat ia telah berada di depan sebuah gedung
megah yang sangat tinggi. Di atasnya bertuliskan tiga buah huruf kapital. ‘KPK’
begitulah dia membacanya. Ternyata inilah gedung yang telah banyak mengungkap
kasus korupsi di tanah airnya.
Dani
kembali bersedih dan berpikir mengapa orang-orang begitu bangga dengan
berdirinya gedung ini. Dia akan jauh lebih bangga jika gedung itu tidak ada
sama sekali dikarenakan tak ada satupun orang yang dengan kerakusannya memakan
hak yang seharusnya jadi milik orang-orang seperti dirinya. Bisa mengungkap dan
menangkap banyak koruptor bagi Dani bukanlah prestasi melainkan aib bagi negeri
ini.
Dani pun
meninggalkan halaman bangunan itu. Tiba-tiba dia telah berada di sebuah tempat
yang tidak dikenalnya. Tempat yang cukup gelap dan jauh dari keramaian. Setelah
dia mengamati dengan saksama ternyata ada sekelompok pemuda dengan seragam
putih abu-abu sedang dalam keadaan mabuk. Di antara sela jarinya keluar asap.
Bungkus plastik dan botol kaca bertaburan di sekeliling mereka.
Dani merasa
sedih dan berpikir lagi kenapa begitu banyak pemuda dengan banyak uang sangat
menyia-nyiakan pendidikan dan masa depan mereka. Padahal dia di balik lubang
dinding rumahnya telah merajut semangat dan masa depan yang begitu indah.
Langkah
Dani tak berhenti disitu saja. Banyak lagi hal yang dilihat yang seolah tak
pernah berhenti memunculkan tanda tanya dibenaknya. Ibu-ibu berbadan sehat yang
menggendong anaknya kesana kemari sambil mengulurkan tangan ke kaca jendela
mobil-mobil yang melintas. Pencurian dan perampokan merajalela yang dilakukan
di tempat terbuka.
Entah
sebenarnya ada rahasia apa tentang semua yang terjadi di hadapan matanya. Di dalam
hatinya hanya bisa terus mengucap syukur karena dibalik semua kemiskinan dan
kesulitan yang dialami keluarganya Tuhan masih menjaga langkah mereka dari
perbuatan keji dan mungkar. Yang ada ialah rasa cinta dan kasih sayang yang
luar biasa.
Langkah
Dani kembali berlanjut hingga ia terdiam terbujur kaku. Dari atas langit senja
yang tenang sebuah cahaya terang berwujud seseorang yang putih bersih turun ke
hadapan Dani. Salam dan senyum hangat menyapanya. “ Assalamualaikum. Ikutlah
dengan ku. Keluarga mu akan Bahagia … “. Cahaya itu lalu memeluknya hingga
perlahan tubuh Dani terbang ke atas meninggalkan segala kehidupan fana dunia. Senyum
Dani mengembang lembar, kini tiada lagi kesedihan di hatinya. Dani merasakan
seluruh Cinta di bumi turun menyelimutinya …
Keesokan
paginya tubuh Dani ditemukan warga setempat diantara tumpukan sampah di dalam
gang sempit tempat dimana uangnya dirampas oleh seseorang. Ayah Dani pun
ternyata telah kembali kepada keluarganya sewaktu Dani pergi mengamen kemarin.
Ayahnya kembali untuk menjemput Ibu, Mita, dan Dani setelah dia sukses menjadi
pengusaha besar dalam perantauan bisunya. Diluar dugaan sang ayah tiada sedikit
pun melupakan keluarga kecilnya, bahkan rasa cinta, kasih sayang dan keinginan
untuk bisa berkumpul kembali tiada berkurang sedikit pun. Meski kenyataannya
mereka telah kehilangan Dani.
SELESAI
PENULIS : REVA FAUZI
FAKULTAS : FKIP TANJUNGPURA PONTIANAK
PRODUKSI. : 7 NOVEMBER 2012
ALBUM : 1001 CINTA
UNTUK ANAK BANGSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar