Halaman

Minggu, 09 Desember 2012

CERPEN ANAK BANGSA


SENYUMAN UNTUK DANI
Panas siang menyengat. Aktivitas seperti biasa tampak dilakukan para warga di sebuah perumahan kumuh di pinggiran kota Jakarta. Perumahan yang sebagian besar dinding rumahnya hanyalah beralaskan kardus dan papan tipis. Tanah yang becek berlumpur dan beberapa genangan air di sudut gang tak menjadi penghalang mereka untuk tetap bersemangat melangkahkan kaki demi sesuap nasi.
Dani dan adiknya Mita baru pulang sekolah. Mereka memasuki salah satu gang di
perumahan itu. Ya, di situlah rumah kecil mereka berdiri. Sebuah rumah dengan penuh lubang di dindingnya. Di situlah mereka berdua merawat ibunya yang sudah lama sakit. Tubuhnya terus saja menggigil diperparah lagi dengan lantai rumah yang tidak lain adalah tanah yang lembab.
Ayah mereka telah lama pergi entah kemana sehingga hidup miskin serba kekurangan itu telah lama mengeringkan luka di hati mereka. Sebagai anak, Dani dan Mita tahu bahwa Rasulullah mengatakan Surga ada di telapak kaki ibu. Jadi, apa pun itu asal kan halal akan mereka lakukan demi sebuah pengabdian mereka kepada ibu. Hanyaa itulah yang mereka bisa lakukan.
Setelah mengganti pakaian puith birunya, Dani langsung mengambil sebuah gitar kecil yang bergantung di dinding kamar. Gitar yang selalu menemani dia menyanyikan beberapa lagu untuk orang-orang yang bersedia mendengarkan suara sumbangnya. Dulu suara Dani masih merdu, debu jalanan dan asap hitam kendaraanlah yang membuat suaranya tak seperti dulu lagi.
“ Mita, kakak berangkat dulu ya. Kau jagalah ibu dulu “,kata Dani kepada Mita.
“ Makan lah dulu kak sebelum berangkat. Biar kakak ada tenaga “, kata Mita.
“ Iya nak. Masih ada sedikit nasi di meja. Ibu tidak mau kamu kenapa-kenapa “,kata Ibu dengan suara lirih, tubuhnya terbaring lemah.
“ Tidak usah Bu. Nasi itu untuk ibu dan Mita saja. Nanti Dani bisa beli di jalan. Insya Allah Dani kuat “, jawab Dani dengan nada pelan. Meski ada sedikit kebohongan yang disimpan di hatinya.
“ Kalau begitu minumlah dulu seteguk air. Setidaknya itu bisa menyegarkan tenggorokan kakak “,kata Mita lagi dengan sedikit memelas.
Dengan perut kosong Dani berusaha sebisa mungkin untuk tetap tampak tegar di hadapan ibu dan adiknya. Perlahan tapi pasti langkahnya mulai menjauh meninggalkan rumah. Sebenarnya ibunya pun merasa tak sampai hati kalau harus anaknya yang belum cukup umur itu sudah banting tulang. Mita juga sudah sering kali merengek ingin ikut membantu Dani bekerja. Namun, Dani melarangnya karena ia tak tega. Lagipula, harus ada yang merawat ibu.
Sang mentari memuntahkan sengatan panasnya tanpa ampun di tengah kota Megapolitan itu. Kemacetan yang terjadi sepanjang jalan menjadi peluang emas tersendiri bagi Dani dan beberapa teman seperjuangannya. Mereka pun beraksi. Mulai dari menjajakan minuman segar hingga melantunkan lagu-lagu ditemani kerasya petikan gitar dari jemari mereka. Tak sedikit yang merasa terganggu dengan kehadiran para anak jalanan itu. Namun, tak sedikit pula yang mengulurkan rupiah karena masih ada rasa belas kasih dan takjub atas jerih payah mereka ataupun sekedar merasa terhibur di tengah kebisingan kota yang ada.
Matahari semakin condong ke barat. Sepuluh ribu rupiah telah Dani kumpulkan. Namun, jumlah itu jika ia langsung belikan untuk makan siangnya pastilah akan habis. Sedangkan jika dia tidak segera mengisi perutnya dia tak akan mampu lagi bersuara. Dani pun memutuskan untuk membeli sepotong roti saja.
Setelah melahap habis rotinya Dani melanjutkan langkah kembali. Dia berbaur lagi dengan rekan lainnya yang juga baru selesai beristirahat. Satu per satu mobil dan sepeda motor yang terhenti oleh lampu merah mereka nyanyikan lagu. Tentunya lagu yang sedang trend saat ini. “ Suara hati ini memanggil namamu karena separuh aku . . .Kamu . . .”.  
Tak jarang ketika ada sebuah bus yang melintas pelan dengan sigap mereka melompat masuk ke dalam bus itu. Setelah turun dari bus Dani lantas berpisah dengan teman-temannya. Dia masuk ke beberapa komplek perumahan. Dia beranggapan akan mendapat uang lebih di sana. Dan ternyata benar setelah berjalan dari ujung ke ujung, empat puluh ribu rupiah dapat melebarkan senyumnya.
Setelah merasa cukup Dani pun segera keluar dari komplek perumahan itu. Rasa lapar di perutnya semakin menjadi-jadi. Dia merasakan pusing yang begitu hebat, matanya berkunang-kunang. Dengan langkah gontai tak terarah tanpa disadari dia masuk ke dalam sebuah gang sempit yang sepi. Sepasang mata telah mengintainya sejak tadi. Dan dengan cepat memaksa dan merampas uang yang ada di tangan Dani.
“ Mana uang kamu !! Cepat sini! ”,kata seseorang yang tak dikenal itu berusaha merebut uang Dani.
“ Ampun om... Jangan diambil! Uang ini untuk beli obat ibu saya “,Dani menangis sejadinya sambil sebisa mungkin mempertahankan uangnya. Tapi apa daya tenaganya tiada.
“ Ah! Berisik! Masih kecil tau apa kamu ?!”,orang itu semakin membentak Dani dan akhirnya semua uang berhasil ia rampas. Tentu saja Dani tidak pasrah begitu saja.
“ Jangan om. Kembalikan! Itu uang saya … Adik saya di rumah belum makan …”,dengan menarik-narik bahu orang itu Dani terus memohon agar uangnya kembali. Tetapi yang dia dapat adalah sebuah dorongan kuat sehingga tubuh Dani terhempas dan tak sadarkan diri diantara tumpukan sampah. Preman jalan itu pun langsung melarikan diri.
Lama Dani terbaring tak sadarkan diri. Akhirnya dia pun terbangun. Tak ada lagi keinginan apa-apa di pikirannya kecuali pulang menemui ibu dan adiknya. Hari sudah semakin sore. Langkahnya terasa begitu ringan mungkin karena ada rasa senang di hatinya akan bertemu dengan keluarga yang dicintai.
Dalam perjalanannya Dani melewati sebuah kerusuhan hebat yang terjadi di jantung kota. Ternyata itu adalah para mahasiswa yang dengan brutalnya merusak segala apa yang ada di sekitar mereka. Polisi siaga berjaga. Sebagian ada yang berlarian tertangkap dan meronta-ronta.
Dani berpikir kenapa masih saja ada yang memilih kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah. Padahal masih ada orang-orang susah seperti dia yang masih dapat memberikan cinta dan kasih sayang meski didera dengan cobaan dan tantangan berat sekalipun.
Dani meninggalkan kerusuhan itu. Secara kilat ia telah berada di depan sebuah gedung megah yang sangat tinggi. Di atasnya bertuliskan tiga buah huruf kapital. ‘KPK’ begitulah dia membacanya. Ternyata inilah gedung yang telah banyak mengungkap kasus korupsi di tanah airnya.
Dani kembali bersedih dan berpikir mengapa orang-orang begitu bangga dengan berdirinya gedung ini. Dia akan jauh lebih bangga jika gedung itu tidak ada sama sekali dikarenakan tak ada satupun orang yang dengan kerakusannya memakan hak yang seharusnya jadi milik orang-orang seperti dirinya. Bisa mengungkap dan menangkap banyak koruptor bagi Dani bukanlah prestasi melainkan aib bagi negeri ini.
Dani pun meninggalkan halaman bangunan itu. Tiba-tiba dia telah berada di sebuah tempat yang tidak dikenalnya. Tempat yang cukup gelap dan jauh dari keramaian. Setelah dia mengamati dengan saksama ternyata ada sekelompok pemuda dengan seragam putih abu-abu sedang dalam keadaan mabuk. Di antara sela jarinya keluar asap. Bungkus plastik dan botol kaca bertaburan di sekeliling mereka.
Dani merasa sedih dan berpikir lagi kenapa begitu banyak pemuda dengan banyak uang sangat menyia-nyiakan pendidikan dan masa depan mereka. Padahal dia di balik lubang dinding rumahnya telah merajut semangat dan masa depan yang begitu indah.
Langkah Dani tak berhenti disitu saja. Banyak lagi hal yang dilihat yang seolah tak pernah berhenti memunculkan tanda tanya dibenaknya. Ibu-ibu berbadan sehat yang menggendong anaknya kesana kemari sambil mengulurkan tangan ke kaca jendela mobil-mobil yang melintas. Pencurian dan perampokan merajalela yang dilakukan di tempat terbuka.
Entah sebenarnya ada rahasia apa tentang semua yang terjadi di hadapan matanya. Di dalam hatinya hanya bisa terus mengucap syukur karena dibalik semua kemiskinan dan kesulitan yang dialami keluarganya Tuhan masih menjaga langkah mereka dari perbuatan keji dan mungkar. Yang ada ialah rasa cinta dan kasih sayang yang luar biasa.
Langkah Dani kembali berlanjut hingga ia terdiam terbujur kaku. Dari atas langit senja yang tenang sebuah cahaya terang berwujud seseorang yang putih bersih turun ke hadapan Dani. Salam dan senyum hangat menyapanya. “ Assalamualaikum. Ikutlah dengan ku. Keluarga mu akan Bahagia … “. Cahaya itu lalu memeluknya hingga perlahan tubuh Dani terbang ke atas meninggalkan segala kehidupan fana dunia. Senyum Dani mengembang lembar, kini tiada lagi kesedihan di hatinya. Dani merasakan seluruh Cinta di bumi turun menyelimutinya …
Keesokan paginya tubuh Dani ditemukan warga setempat diantara tumpukan sampah di dalam gang sempit tempat dimana uangnya dirampas oleh seseorang. Ayah Dani pun ternyata telah kembali kepada keluarganya sewaktu Dani pergi mengamen kemarin. Ayahnya kembali untuk menjemput Ibu, Mita, dan Dani setelah dia sukses menjadi pengusaha besar dalam perantauan bisunya. Diluar dugaan sang ayah tiada sedikit pun melupakan keluarga kecilnya, bahkan rasa cinta, kasih sayang dan keinginan untuk bisa berkumpul kembali tiada berkurang sedikit pun. Meski kenyataannya mereka telah kehilangan Dani.


SELESAI



PENULIS                               : REVA FAUZI
FAKULTAS                            : FKIP TANJUNGPURA PONTIANAK           
PRODUKSI.                     : 7 NOVEMBER 2012
ALBUM                                 : 1001 CINTA UNTUK ANAK BANGSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

animasi  bergerak gif
My Widget